UHE DIE DANG HADING "EPANG GAWANG"

Kamis, 25 November 2010

KERAJAAN KANGAE

Moang A. BoEr Parera dalam manulis skripsinya semenjak 1910 dan terakhir berdasarkan keterangan Mo’ang Badar pada tanggal 25 Mei 1940 di rumah Mo’ang Gaing di Kampung Blatat, dilatarkan bahwa keturunan Kerajaan Kangae berasal dari Mo’ang Ina Gate Ama Gahar. Bemu Aja (dan saudaranya Mo’ang Raja Bisa Amat).

Mo’ang Bemu Aja menikahi Du’a Gurung Merang. A. BoEr juga menjelaskan kepada Oscar P. Mandalangi bahwa nama lain dari Du’a Gurung Merang Plale Poung. Ibunda ini keturunan dari Mo’ang Ria (ata bekor) yang mendiami Mekeng Detung Wololaru di Iling Bekor. Dan karena keterampilan mencampur warna lain dengan akar serta daun nila/tarum, penduduk setempat menyapa Du’a Plale Poung Deri Kale-Ngaeng Tarung. Pergeseran kate kale-ngaeng ini akhirnya melahirkan Kangae.

Leluhur purba Mo’ang Bemu Aja menurunkan Mo’ang Nai, Mo’ang Tigar Riwung, Mo’ang Tega Sasa, dan Mo’ang Ehak Gesuk, dan dari mereka diturunkan dua tokoh terkemuka yakni Mo’ang Bapa dan Mo’ang Goleng, menempati kampong Wolo’luma Nitung Kangae.

Mo’ang Bapa melahirkan Mo’ang Nago dengan putera-puteranya Mo’ang Keu, Mo’ang Wuli dan Mo’ang Mitang. Dari keturunan ini terkenal pula Mo’ang P.Y. Bapa Mekeng dengan putera-puteranya Blasius Bapa Mekeng dan Paulus Bapa Mekeng sekarang ini.
Mo’ang Goleng menurunkan Mo’ang Juje dan beliaulah yang melahirkan Mo’ang Nai dan Mo’ang Roa, yang oleh Belanda dan penduduk Nuhang Ular Tana Lorang disapa menjadi satu yakni Mo’ang Nai Roa.

Keturunan dinasti ini menguasai sebuah wilayah di bagian timur di samping Raja Sikka yang “mencaplok” seluruh wilayah, namun kebesaran dan kekuasaan turun temurun sesuai Wolon(g)-Wolon(g)tak dapat dibendung, sehingga Kangae selamanya tidak mau mengakui hegemoni Kerajaan Sikka terhadapnya semenjak semula, walaupun Kangae juga diberikan mangun lajar pembawa lambang kekuasaan Bala Mangung dari Raja Sikka
.
Tertulis bahwa nenek moyang Du’a Gurung Merang Plale Poung, yang datang dari Iling Bekor Mekeng Detung Wololaru ialah mereka yang disapa dengan leluhur Mo’ang Toda, Lanur, Molik, Balik bersam isterinya Du’a Doda Wai Timu Nusur Wai Plale Poung di atas.

Du’a Plale Poung dengan anak-anaknya Mo’ang Sawu Sia Wuli Bewat, membawa bukti alat kebesaran –regalia- ke kampong Kangae yang dikenal dengan Muti Bala Jawa, Bala Langat dan sebuah periuk purba Unu Podo.

Sejarah menuliskan bahwa Mo’ang Nai adalah Raja I Kerajaan Kangae dalam daftar Kolonial Belanda. Ketika kedatangan Portugis yakni guru agama Augusthino da Gama bersama Alexius Alessu (Raja I Kerajaan Sikka yang memakai gelar raja), tersebutlah bahwa keduanya membawa pula Regalia kerajaan berupa tongkat kerajaan. Mo’ang Alessu membawa serta dua batang tongkat berkepala perak sedangkan Augusthino da Gama menjadi wakil Raja Don Alessu.

Dua tongkat ini , sebuah diserahkan kepada Raja Maujong (Mau LoloJong) dari Nita, dan sebatang lagi kepada Mo’ang Korung da Cunha di Alok Wolokoli sebagai Commendanti Pelabuhan Alok Wolokoli.

Setelah kematian Augusthino da Gama, puteranya Thomas da Gama yang lebih dikenal dengan Thomas Dede Amang (Jarang Paing Nora Lado) tidak bersepakat dan bersahabat dengan Raja Sikka. Beliau berpindah ke Wuring-Bebeng mendiami daerah itu. Ketika berjumpa Mo’ang Goleng di Waipare dalam perjalanan ke Kangae, tongkat emas berlambang domba dan bururng merpati itu diserahkan kepada Mo’ang Goleng untuk dijadikan tongkat kerajaan.

Kerajaan Kangae sendiritak pernah aman. Untuk menenteramkan wilayah colonial, Belanda kembali memecah belah Kerajaan Sikka untuk kedua kalinya dengan mendirikan Kerajaan Kangae. Mo’ang Nai dilantik menjadi Raja I Kerajaan kangae dalam daftar colonial Belanda dengan penyerahan sebuah Korteverklaring oleh Residentie Timo en Onderhorrigheden di Waipare, 9 Desember 1902. Beliau menguasai Napung Pitu Wolong Walu dengan batas dari Wairotang ke Bao Pa’at di sebelah Utara menuju selatan hingga Wolo’luma, Kangae, Nitung, Habi, Wetak, ke utara hingga Bang Arat.

Pada tanggal 30 Juni 1904 pukul 7.30, posthouder mengirim resident dan controleur ke Waipare untuk mengganti tongkat perak Kerajaan Kangae dengan tongkat emas, serta penghargaan kepada Raja Mo’ang Nai karena dapat “mengamankan” serangan Nuhu Teka. Pada saat yang sama diangkat pula Daeng Pawindu sebagai Kepala Orang Bugis, Husen Pua Salem sebagai Kepala Kampung Geliting-Wairotang dan Bolong Uwa segai Kepala Kampung Waioti.

D.D. Kondi menulis bahwa Raja Mo’ang Nai sebelumnya pada tahun 1903 telah mengikuti perubahan system sentralisasi ke desentralisasi oleh Raja Yoseph Nona Meak da Silva dengan pemencaran kekuasaan berdasarkan wilayah/distrik-kapitan-dimana Kangae terdiri atas enam wilayah distrik: Kapitan Illi, Wetakara, Kringa Werang, Wai Gete dan Hewokloang. Sedangkan Nita terdiri dari 2 wilayah distrik: Kapitan Nita dan Tilang. Kerajaan Sikka meliputi 10 distrik: Sikka, Maumere, Nualolo, Nele, Mbengu, Bu, Megoh, Kolo, Wolokoli, dan Palu’e.

Ketika Raja Sikka Don Yosephus Nong Meak da Silva dipensiunkan Belanda karena tua, diangkat-dilantik Raja Don Thomas Ximenes da Silva oleh Controleur Oranye pada tanggal 21 November 1923 dengan sebuah Besluit Guvernur General Belanda di Betawi No.50/1 Mei/1923.

Pada saat yang sama secara sepihak pada tahun 1923, Kolonial Belanda memberikan pensiun kepada Raja Mo’ang Nai seperti diperbuatnya terhadap Raja Sikka dan Raja Nita sebelumnya. Dan tanpa kompromi seluruh wilayah Kerajan Kangae diserahkan kepada kesatuan Kerajaan Sikka di bawah Raja Don Thomas Ximenes da Silva. Hal ini berdasar pengumuman Assisten Resident Flores pada tanggal 14 November 1925. H. Mennes, Controleur Maumere kemudaian menyatakan wilayah Kerajaan Nita dibubarkan.



SEKIAN






BUKU SUMBER :
• BUKU PELANGI SIKKA
JUDUL : THE RAINBOW OF SIKKA
EDITOR : OSCAR PAREIRA MANDALANGI
PENERBIT : PEMDA KABUPATEN SIKKA
PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

1 komentar:

  1. Selamat siang admin, bagaimana saya bisa mendapatkan buku pelangi sikka ini, atau paling krang dapat meminjamnya?

    BalasHapus